Jakarta, Penggunaan obat palsu bisa menyebabkan kesalahan dalam pengobatan atau bahkan berakhir dengan kematian. Tapi sayangnya hukuman bagi pemalsu obat ini masih tergolong ringan.
Pelaku pemalsu obat-obatan umumnya memanfaatkan celah hukum serta lemahnya penegakan hukum yang ada di Indonesia. Umumnya kasus pemalsuan obat ini diserahkan ke pihak kepolisian dan hanya diberikan hukuman beberapa bulan atau membayar denda yang jumlahnya tergolong ringan.
"Sanksi hukum yang ada tidak memberikan efek jera. Dalam KUHP Pasal 386 (1) Barang siapamenjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam hukuman pidana penjara paling lama 4 tahun, sementara di negara-negara lain seperti China bisa sampai 10 tahun penjara," ujar Dra Lucky S Slamet, MSc selaku Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan Napza BPOM, dalam acara forum diskusi media 'Obat Palsu Mengancam Kesehatan Masyarakat' di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (22/11/2010).
Dra Lucky menuturkan kisaran putusan hakim yang terjadi pada pemalsu obat dalam 2 tahun terakhir:
- Tahun 2008: hukuman pidana selama 2 bulan 20 hari dan pidana denda sebesar Rp 500.000.
- Tahun 2009: sanksi terberat pidana 6 bulan percobaan 10 bulan, dan denda Rp. 3 juta subsider 2 bulan kurungan.
- Tahun 2010: dari 10 kasus yang telah diputuskan Pengadilan, didapatkan sanksi yang terberat berupa denda sebesar 2 juta rupiah.
"Pemalsuan obat ini mestinya dipandang sebagai kejahatan yang serius karena bisa menyebabkan kematian, sehingga bisa masuk ke dalam tindakan kriminal dengan tindakan hukum yang tegas dan keras untuk para pemalsu obat ini," ujar Tulus Abadi selaku anggota pengurus harian YLKI.
Tulus menambahkan sebagai gambaran di India saat ini sedang dipersiapkan aturan hukuman mati bagi pemalsu obat. Hal ini karena pemalsuan obat di seluruh dunia merupakan masalah yang serius.
Permasalahan konsumen obat ini meliputi pengetahuan yang terbatas tentang obat dan kandungan obat, banyaknya obat bebas yang beredar, iklan obat yang menjanjikan, harga obat yang relatif mahal, serta pemberian dan penggunaan obat yang tidak rasional.
"Sudah ada upaya-upaya bersama terkait dengan pengawasan dan pengendalian obat palsu, seperti halnya perjanjian BPOM dengan POLRI dan Kejagung serta pembentukan Satgas Obat dan Makanan," ujar Dra Lucky.
Dra Lucky menyampaikan salah satu kemajuan yang ada saat ini adalah pemalsuan obat sudah naik menjadi tindak pidana penting, padahal sebelumnya pemalsuan obat termasuk tindak pidana ringan.
Sementara itu Parulian Simanjuntak selaku Ketua IPMG (Internasional Pharmacheutical Manufactures Group) menuturkan efek dari obat palsu bisa berupa cacat, resistensi obat bahkan kematian. Tapi sampai saat ini belum ada data pastinya, karena kematian akibat obat palsu biasanya tercatat sebagai akibat dari penyakit yang dideritanya.
Untuk mengatasi dan mengendalikan peredaran obat palsu ini diperlukan penegakan hukum yang kuat dan bersifat menjerakan pelaku pemalsu obat, serta memutuskan mata rantai antara suplai dan juga kebutuhan konsumen.
0 comments:
Post a Comment